Kalimat ini menjadi judul testimoni seorang jurnalis perempuan asal Inggris, Natasha Smith: "Tuhan, tolong. Tolong hentikan ini."
Perlu keberanian bagi perempuan muda 21 tahun ini untuk buka suara, menceritakan pengalaman traumatisnya pada dunia. Dengan satu tujuan, agar perempuan di manapun di muka Bumi ini tak mengalami tragedi yang sama.
Kala itu, Smith berada di Lapangan Tahrir, Kairo yang dipenuhi ribuan masyarakat Mesir yang gegap gempita merayakan hasil pemilihan presiden. Untuk melaksanakan tugas jurnalistik membuat sebuah film dokumenter. Demi keselamatan, ia didampingi dua rekan pria.
Suasana sangat meriah dan menyenangkan."Perempuan, anak, dan para ayah tersenyum lebar, melambaikan tangan ke arah kamera, seraya bersorak gembira. Mereka berseru, 'Selamat datang di Mesir! Selamat datang!'. Kembang api memenuhi langit. Sebuah adegan yang menawan," tulis Smith dalam blog pribadinya.
Di ujung jembatan, kerumunan makin padat. Ia dan dua rekannya mencoba berbalik untuk pergi meninggalkan Lapangan Tahrir. Hanya dalam beberapa detik, suasana berubah menjadi mimpi buruk bagi Smith. Ia diseret menjauh dari rekannya.
Awalnya kameranya yang dirampas. Kemudian kerumunan pria brengsek itu mulai menarik pakaiannya hingga terlepas. Tak hanya itu, mereka mencakarnya hingga penuh luka. Ia dijambak, ditendang. "Pria-pria itu, ratusan jumlahnya, berubah dari manusia menjadi binatang," kata dia. "Saya merasa bagai daging segar yang dilempar ke kandang singa lapar."
Namun tak semua dari pria-pria yang berkerumun tak waras. Sejumlah kecil dari mereka mencoba menyelamatkannya ke sebuah tenda. Mereka menjadi pagar hidup untuk melindungi Smith yang tak berdaya.
Sayangnya, usaha itu tak berhasil. Para penyerangnya terus berusaha mendekat dengan beringas, hingga tenda itu roboh. Seorang pelaku mengambil tiang tenda dan mencoba menyerang. "Di titik itu, aku mencoba tenang, dalam hati ia berteriak, 'Tuhan tolong. Tolong hentikan ini...."
Saat itu, Smith berpikir, inilah akhir hidupnya. Ia bahkan berharap Tuhan mencabut nyawanya sebelum para pelaku menodai kehormatannya.
Lalu pertolongan pun datang. Saat mendongak, ia melihat sekelompok perempuan muslimah berkerudung menatapnya dengan pandangan kosong, lalu berbalik menghadapi para penyerang. Menghalau mereka.
Salah satu rekannya berhasil meyakinkan orang-orang untuk memberi jalan, ke sebuah tenda yang masih tegak. Meski masih mendapat serangan selama pindah tempat, ia berhasil selamat. Para muslimah mengelilinginya, melindungi Smith, menutupinya tubuhnya yang telanjang.
"Para wanita itu memberi tahu bahwa saya diserang karena saya dirumorkan sebagai mata-mata asing oleh pihak tak bertanggung jawab," tulis Smith. "Namun jika memang itu alasannya, saya rasa itu hanya sebagai dalih untuk menyerang saya, seorang wanita Barat."
Berada di dalam tenda bukan berarti selamat. Para penyerang mengintip dan mencoba menyerang. Orang-orang yang ada dalam tenda langsung membuat barikade dari kursi.
"Para perempuan Mesir itu menangis, mereka memberi tahu saya, 'itu bukan wajah Mesir! Bukan wajah Islam! Tolong, jangan berpikir Mesir seburuk ini."
Meski hati Smith luar biasa sakit, ia meyakinkan para muslimah, bahwa ia mencintai Mesir dan budayanya. Bahwa ia mengetahui, bahwa Islam sejatinya membawa damai.
Setelah perdebatan sengit, Smith akhirnya disamarkan para wanita Mesir dengan burka dan pakaian pria. Ia diantar menuju tempat yang dideskripsikannya sebagai 'ambulans', atau 'mungkin rumah sakit'.
Rasa terhina dan marah luar biasa tak membuat Smith urung menuliskan tentang kekerasan seksual yang dialaminya, yang juga diderita perempuan Mesir. Sebab, ini adalah isu serius yang harus ditangani segera.
"Tren kekerasan seksual ini konsisten, dan harus segera dihentikan. Wanita Arab, wanita Barat, banyak sekali yang menderita, menjadi korban."
Smith berusaha keras mengontrol dan membangun percaya dirinya. Ia terbukti seorang perempuan tangguh, tak mengizinkan pengalaman buruk menghancurkan hidupnya.
Ia akan melanjutkan proyek dokumenternya, yang juga memuat soal pengalaman buruknya. Sekaligus menentang stereotip dan prasangka Barat terhadap wanita Arab.
Kisah Smith yang dimuat berbagai media juga dibaca oleh orang Mesir yang ada di seluruh dunia. Beberapa dari mereka yang membaca lewat situs Daily Mail memberi tanggapan.
Isinya bukan kalimat berisi kebencian atau pembelaan membabi buta. Yang ada justru pernyataan maaf. "Aku menyesal atas apa yang kau alami, Natasha. Sebagai pria Mesir, aku merasa malu. Maafkan kami," tulis Bassam Elsayed, asal Alexandria, Mesir.
Bukan yang pertama
Natasha Smith bukan wartawati Barat pertama yang mengalami pelecehan seksual saat sedang bertugas di Negeri Piramid. Saat awal Revolusi Mesir pecah pada 2011 lalu, seorang reporter CBS bernama Lara Logan diperlakukan secara tidak senonoh oleh para pria dalam kerumunan.
Nasib wartawati Mesir pun tidak lebih baik. Contohnya Mona Tahawy, yang diserang secara brutal oleh pihak keamanan Mesir pada November 2011. Akibatnya, kedua tangannya harus di-gips.
0 comments:
Post a Comment